BUKAN YANG BESAR MENGALAHKAN YANG KECIL,
TAPI YANG CEPAT MENGALAHKAN YANG LAMBAT
Slogan atau kata-kata bijak ini terpampang
di suatu papan reklame PT Astra Otoparts, Sunter - Jakarta. Kalimat penyusunnya
memang relatif sederhana dan kata-kata
ini mungkin cukup familiar di telinga kita. Walaupun begitu setelah saya
cermati dan renungkan kembali, begitu dalam makna dan maksud yang terkandung di
dalamnya.
Bercermin dari kebiasaan dan nilai yang
dipercaya di negeri ini secara turun
temurun, orang yang semakin “besar” pengaruh dan kedudukannya, pasti akan
dengan mudah mengalahkan yang lebih “kecil” pengaruh atau kedudukannya. Hal ini
bisa dilihat dari sejarah bagaimana rakyat kecil dan para abdi dalem yang
begitu tunduk pada perintah juragannya, raja, maupun kompeni, apa pun perintah
mereka. Atau pada zaman orde baru, di mana kebebasan dan kreatifitas rakyat begitu dikendalikan dengan
batasan-batasan yang ketat dari pemerintah.
Akan tetapi seiring dengan perubahan dan
perkembangan zaman yang begitu cepat dan dinamis, semakin pudarlah nilai-nilai
tersebut. Di era globalisasi ini bukan yang ‘besar’ lagi yang mengalahkan yang
‘kecil’, tapi yang lebih ‘cepat’-lah yang akan mengalahkan yang ‘lambat’.
Begitu ketatnya berbagai persaingan di masa kini, sehingga menuntut kita untuk
senantiasa ikut berubah dengan berkembangnya zaman. Sebagian
perusahaan-perusahaan besar yang dahulu berjaya, sedikit demi sedikit
‘berguguran’ dalam persaingannya dengan perusahaan lain yang lebih cepat
berubah dengan zaman. Contohnya PT Matahari Putra Prima yang mengelola Matahari
Dept Store, akhir-akhir ini sudah hampir semua ditutup dan semakin tidak terdengar gaungnya, dikalahkan
oleh berbagai factory outlet yang lebih inovatif dan mengerti dalam
mengakomodir selera pasar yang terus berubah.
Saya tertarik juga untuk membahas istilah
‘cepat’ di sini dalam hal hubungannya dengan dunia kerja dan pengembangan diri.
Sejalan dengan berubahnya zaman, standar yang disyaratkan di dunia kerja pun
semakin tinggi. Kita semakin dituntut untuk lebih mengembangkan kompetensi kita
baik dalam ‘hard-skill’ maupun ‘soft-skill’. Dalam hal ‘hard-skill’, kita
senantiasa harus meng-update kemampuan kita di bidang teknis, seperti
misalnya aplikasi komputer, penguasaan bahasa Inggris atau asing lainnya, pengetahuan
bisnis yang berhubungan dengan pekerjaan kita, dan lain-lain. Dalam hal
‘soft-skill’ kita harus terus meningkatkan kemampuan dalam hal leadership,
people skill, maupun maturity sebagai orang dewasa yang akan
membuat kita lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam hal pengambilan
keputusan.
Walaupun demikian, kebanyakan dari kita
begitu sulit untuk bisa menjadi yang ‘cepat’ tersebut. Kendala budaya yang cenderung ‘nrimo’ dengan keadaan yang
ada, menjadi salah satu alasan kurang cepatnya orang berubah dan mau
melakukan hal yang lain dari biasanya.
Orang sudah begitu aman dalam ‘comfort zone’-nya sehingga mereka menjadi
malas untuk melakukan perubahan yang dirasa ‘tidak nyaman’ dan ‘tidak biasa’
meskipun mereka mengerti bahwa hal itu baik bagi perkembangan dirinya.
Jadi seringkali yang menghambat kita untuk
menjadi ‘cepat’ adalah diri kita sendiri. Kita merasa kurang percaya
diri bahwa kita sebenarnya bisa menjadi lebih ‘cepat’. Kita merasa tidak perlu
untuk menjadi lebih ‘cepat’ karena kita merasa ditakdirkan menjadi orang
‘biasa-biasa’ saja. Padahal setiap orang itu memiliki kesempatan yang sama
untuk berkembang dan maju. Yang membedakan hanyalah kemauan dan motivasi
dirinya.
Oleh karena itu saya kembalikan keputusan
untuk menjadi ‘cepat’ (baca: berubah) pada diri kita
masing-masing. Akankah kita membiarkan diri kita ‘tergilas’ oleh kecepatan
orang-orang dalam mengikuti perubahan zaman, dan perlahan-lahan kehilangan
eksistensi di dunia ini? Atau sebaliknya, kita berani menerima tantangan untuk
keluar dari zona kenyamanan kita dan ikut berlari dengan zaman dalam mencapai
kesuksesan kita?
Pilihan ada di tangan Anda….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar