Selasa, 27 November 2012


BUKAN YANG BESAR MENGALAHKAN YANG KECIL,

TAPI YANG CEPAT MENGALAHKAN YANG LAMBAT

 

 

Slogan atau kata-kata bijak ini terpampang di suatu papan reklame PT Astra Otoparts, Sunter - Jakarta. Kalimat penyusunnya memang relatif sederhana  dan kata-kata ini mungkin cukup familiar di telinga kita. Walaupun begitu setelah saya cermati dan renungkan kembali, begitu dalam makna dan maksud yang terkandung di dalamnya.

 

Bercermin dari kebiasaan dan nilai yang dipercaya  di negeri ini secara turun temurun, orang yang semakin “besar” pengaruh dan kedudukannya, pasti akan dengan mudah mengalahkan yang lebih “kecil” pengaruh atau kedudukannya. Hal ini bisa dilihat dari sejarah bagaimana rakyat kecil dan para abdi dalem yang begitu tunduk pada perintah juragannya, raja, maupun kompeni, apa pun perintah mereka. Atau pada zaman orde baru, di mana kebebasan dan kreatifitas  rakyat begitu dikendalikan dengan batasan-batasan yang ketat dari pemerintah.

 

Akan tetapi seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat dan dinamis, semakin pudarlah nilai-nilai tersebut. Di era globalisasi ini bukan yang ‘besar’ lagi yang mengalahkan yang ‘kecil’, tapi yang lebih ‘cepat’-lah yang akan mengalahkan yang ‘lambat’. Begitu ketatnya berbagai persaingan di masa kini, sehingga menuntut kita untuk senantiasa ikut berubah dengan berkembangnya zaman. Sebagian perusahaan-perusahaan besar yang dahulu berjaya, sedikit demi sedikit ‘berguguran’ dalam persaingannya dengan perusahaan lain yang lebih cepat berubah dengan zaman. Contohnya PT Matahari Putra Prima yang mengelola Matahari Dept Store, akhir-akhir ini sudah hampir semua ditutup dan  semakin tidak terdengar gaungnya, dikalahkan oleh berbagai factory outlet yang lebih inovatif dan mengerti dalam mengakomodir selera pasar yang terus berubah.

 

Saya tertarik juga untuk membahas istilah ‘cepat’ di sini dalam hal hubungannya dengan dunia kerja dan pengembangan diri. Sejalan dengan berubahnya zaman, standar yang disyaratkan di dunia kerja pun semakin tinggi. Kita semakin dituntut untuk lebih mengembangkan kompetensi kita baik dalam ‘hard-skill’ maupun ‘soft-skill’. Dalam hal ‘hard-skill’, kita senantiasa harus meng-update kemampuan kita di bidang teknis, seperti misalnya aplikasi komputer, penguasaan bahasa Inggris atau asing lainnya, pengetahuan bisnis yang berhubungan dengan pekerjaan kita, dan lain-lain. Dalam hal ‘soft-skill’ kita harus terus meningkatkan kemampuan dalam hal leadership, people skill, maupun maturity sebagai orang dewasa yang akan membuat kita lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam hal pengambilan keputusan.

 

Walaupun demikian, kebanyakan dari kita begitu sulit untuk bisa menjadi yang ‘cepat’ tersebut. Kendala budaya  yang cenderung ‘nrimo’ dengan keadaan yang ada, menjadi salah satu alasan kurang cepatnya orang berubah dan mau melakukan  hal yang lain dari biasanya. Orang sudah begitu aman dalam ‘comfort zone’-nya sehingga mereka menjadi malas untuk melakukan perubahan yang dirasa ‘tidak nyaman’ dan ‘tidak biasa’ meskipun mereka mengerti bahwa hal itu baik bagi perkembangan dirinya.

 

Jadi seringkali yang menghambat kita untuk menjadi ‘cepat’ adalah diri kita sendiri. Kita merasa kurang percaya diri bahwa kita sebenarnya bisa menjadi lebih ‘cepat’. Kita merasa tidak perlu untuk menjadi lebih ‘cepat’ karena kita merasa ditakdirkan menjadi orang ‘biasa-biasa’ saja. Padahal setiap orang itu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan maju. Yang membedakan hanyalah kemauan dan motivasi dirinya.

 

Oleh karena itu saya kembalikan keputusan untuk menjadi ‘cepat’ (baca: berubah) pada diri kita masing-masing. Akankah kita membiarkan diri kita ‘tergilas’ oleh kecepatan orang-orang dalam mengikuti perubahan zaman, dan perlahan-lahan kehilangan eksistensi di dunia ini? Atau sebaliknya, kita berani menerima tantangan untuk keluar dari zona kenyamanan kita dan ikut berlari dengan zaman dalam mencapai kesuksesan kita?

Pilihan ada di tangan Anda….